Operasi TNI di Ilaga dan Onerik Papua Tengah, Dua OPM Tewas

Papua Tengah.News – Dua anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) tewas dalam operasi penindakan yang dilakukan Satuan Tugas Gabungan TNI di Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Operasi berlangsung pada Selasa dan Rabu, 22–23 Juli 2025, di Kampung Kunga, Distrik Ilaga, dan Kampung Gunalu, Distrik Onerik.

Korban tewas adalah Lison Murib alias Limar Elas dan Alena Murib alias Alerid Murib.

Lison diketahui sebagai buronan lama yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Polri sejak 2020, usai terlibat dalam penembakan warga sipil di di area parkir Gedung OB-1, Kuala Kencana, Mimika, pada 30 Maret 2020. Ia kembali aktif sebagai Danyon Kunga, memperkuat struktur bersenjata OPM di wilayah Puncak pada 2021.

Barang Bukti dan Dugaan Pemerasan

Dalam operasi tersebut, Satgas TNI mengamankan sejumlah barang bukti, termasuk uang tunai puluhan juta rupiah, senjata tajam, amunisi kaliber 5,56 mm dan 7,62 mm, bendera Bintang Kejora, dokumen permintaan dana, serta perlengkapan komunikasi.

Mabes TNI menyebut temuan tersebut mengindikasikan adanya aliran dana ilegal yang diduga berasal dari pemerasan terhadap aparat pemerintah maupun masyarakat sipil.

Kapuspen TNI Mayjen Kristomei Sianturi menegaskan bahwa operasi ini merupakan bagian dari pelaksanaan tugas pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), dan seluruh tindakan dilakukan secara profesional dan terukur.

“Namun di luar aspek penindakan, TNI tetap konsisten menjalankan pendekatan teritorial yang humanis dan dialogis,” kata Kristomei saat dikonfirmasi Tribunnews.com pada Selasa (29/7/2025).

TNI Tegaskan Operasi di Papua Sesuai UU dan Profesional

Mayjen Kristomei menegaskan bahwa operasi penindakan terhadap kelompok bersenjata OPM di Papua merupakan bagian dari pelaksanaan Tugas Pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Menurut Kristomei, seluruh tindakan prajurit dalam operasi tersebut dilakukan secara profesional, terukur, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

“Setiap tindakan prajurit TNI dilaksanakan secara profesional, terukur, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa di luar aspek penindakan, TNI tetap menjalankan pendekatan teritorial yang humanis dan dialogis sebagai bagian dari upaya jangka panjang membangun stabilitas keamanan nasional, khususnya di Papua.

Mabes TNI menyatakan komitmennya untuk terus memperkuat peran sebagai penjaga kedaulatan dan pelindung masyarakat Papua, melalui pendekatan yang berlandaskan hukum dan nilai kemanusiaan.

Selain itu, TNI membuka ruang rekonsiliasi bagi anggota OPM yang ingin kembali ke pangkuan NKRI dan bersama-sama membangun masa depan Papua yang damai dan sejahtera.

Dampak Operasi

Di tengah pelaksanaan operasi militer, sejumlah laporan dari lembaga pemantau mencatat adanya dampak psikologis dan sosial yang dirasakan sebagian warga sipil Papua, terutama perempuan dan anak-anak. Ketidakpastian situasi, perpindahan sementara, serta keterbatasan akses terhadap layanan publik menjadi tantangan yang dihadapi masyarakat di beberapa wilayah terdampak.

Meski operasi dilakukan dengan pendekatan profesional dan terukur, dinamika di lapangan menunjukkan perlunya penguatan komunikasi dan jaminan perlindungan bagi warga sipil, agar stabilitas keamanan dapat berjalan seiring dengan ketenangan hidup masyarakat.

Imparsial mencatat lebih dari 3.000 warga Distrik Oksop terpaksa mengungsi ke hutan akibat operasi militer mendadak pada Desember 2024. Anak-anak kehilangan akses pendidikan, layanan kesehatan lumpuh, dan warga hidup dalam bayang-bayang senjata.

Rekonsiliasi Adat: Jalan Damai yang Terlupakan?

Di tengah ketegangan, sejumlah tokoh adat dan aktivis mendorong pendekatan rekonsiliasi berbasis budaya lokal. Tradisi Balim di Lembah Baliem, misalnya, menawarkan mekanisme perdamaian yang telah diwariskan turun-temurun. Pemerintah daerah Jayawijaya bahkan berencana menggelar rekonsiliasi dengan pendekatan adat pada akhir Juli 2025.

“Jika ingin rekonsiliasi sejati, semua pihak harus jujur melihat akar masalahnya,” ujar Bonny Lanny.

Kementerian HAM turut mendorong pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan rekonsiliasi sebagai bagian dari solusi jangka panjang atas dinamika yang terjadi di Papua. Upaya membangun perdamaian dinilai perlu melibatkan ruang dialog yang inklusif, serta pemulihan sosial yang berkelanjutan.

Di tanah yang kaya akan budaya dan keindahan alam, stabilitas keamanan idealnya berjalan berdampingan dengan ketenangan batin masyarakat. Papua membutuhkan ruang untuk tumbuh bersama—dengan harapan, keadilan, dan masa depan yang damai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *